Mantan Kecengan

-Hujan deras di luar sana-

Bagaimana ya memulai cerita hari ini? Hmm… Lebih baik dimulai dari peringatan, cerita kali ini penuh kegalauan, bagi yang tidak suka kisah-kisah galau, jangan baca post kali ini.

Tadi saya mendapat whatsapp dari seorang wanita, sahabat baik saya yang sebentar lagi mau menikah. Dia bercerita bahwa semalam, mantan kecengannya semasa SMA mengajaknya mengobrol. Menurut cerita sahabat saya ini, pria itu secara terang-terangan merayunya. Tapi sahabat saya ini tidak membutuhkan nasihat, dia sanggup menjaga dirinya supaya tidak tergoda. Lagipula menurutnya, “Dia bikin ilfil, Ras!”

Sesungguhnya beberapa hari yang lalu, seorang mantan kecengan saya hadir di mimpi saya. Nggak perlu saya ceritakan detailnya. Bunga tidur kali itu sempat membuat saya gundah. Gundah bukan karena saya ingin memilikinya. Tapi lebih karena hampir selama tujuh tahun ini, dia selalu hadir dekat dengan kehidupan cinta saya.

Kisah mengeceng ini dimulai dari tahun pertama saya kuliah. Mengenalnya saya sungguh beruntung karena dia adalah laki-laki yang baik. Setiap pulang kuliah, dia hampir selalu mengajak bertemu. Karena dia tahu jemputan saya datang agak sore. Alasannya saat mengajak saya bertemu kebanyakan meminta ditemani belajar. Tidak sulit bagi saya, saya akui saya jatuh hati padanya.

Setiap hari sebelum pulang kami bertemu. Setiap kali saya perlu teman ke balubur untuk beli peralatan gambar, saya tinggal sms dia. Setiap kali memulai hari, semangat akan kami kirimkan lewat sms. Begitu pula setiap kali hari akan berakhir, ucapan selamat malam dan selamat tidur tidak akan lupa terkirim. Keseharian kami layaknya laporan keuangan yang setiap hari direkap. Mengingat masa itu saya masih suka tertawa geli. Kami masih sangat muda. Masih awam soal jatuh hati, khususnya saya.

Sampai suatu hari, ketika pulang dari balubur menuju kampus setelah menemani dia membeli tempat pensil, kami bertemu dengan seorang wanita, teman kuliah satu fakultas saya yang kebetulan adalah teman sekolah dia semasa SMA. Setelah bertegur sapa, teman saya, kita sebut saja dia Agni, pergi. Keesokannya, Agni bertanya ada hubungan apa saya dengan laki-laki teman dekat saya itu. Saya hanya menjawab, “Teman dekat”.
Seperti biasa ketika wanita menemukan kesamaan topik, dalam kasus ini mengenal teman yang sama, yang akan dibicarakan adalah teman itu. Mari kita sebut mantan kecengan saya sebagai Robi.

Saya : “Lo kenal dia di mana?”
Agni : “Gue sekelas sih sama dia pas SMA”
Saya : “Ohya? Dia kayak gimana pas SMA?” –> mulai penasaran nih yee
Agni : “Anaknya baik sih Ras. Kalian sedekat apa sih emangnya?”
Saya : “Sedekat apa? Hmm, nggak tahu. Pokoknya dia baik banget sama gue”
Agni : “Soalnya kalau nggak salah dia udah punya pacar. Emangnya udah putus?”

Jeeennnggg!!! Jaman itu masih jaman friendster. Hari itu saya langsung mengecek status Robi. Single. *tapi saya mulai ragu sama penglihatan saya waktu itu deh, jangan-jangan saking sukanya saya ke dia, sampai-sampai berharap status dia yang saya lihat itu tulisannya Single. Sialan*

Tahun pertama kuliah, saya memiliki tiga sahabat dekat. Ilona, Maria dan Adel. Urusan percintaan bukan sesuatu yang mudah luput dari pengawasan mereka. Muram sedikit mereka akan mencecar dengan berbagai pertanyaan.

Apa yang mereka ucapkan siang itu, di tangga TPB Seni Rupa, tertanam di benak saya sampai hari ini, “Kalau Robi memilih meninggalkan pacarnya demi kamu, ada kemungkinan suatu saat kamu bakal dia tinggalkan demi perempuan lain, Ras. Jangan bodoh!”

Beberapa minggu kemudian SMS saya adalah menembak dia di tempat dengan pertanyaan, “Kamu sudah punya pacar ya?”

Dan jawaban dia saat itu menghancurkan harapan saya *duileeehhh*, “Iya”

SMS saya selanjutnya masih saya ingat jelas, “Kalau kamu sudah punya pacar, jangan berbaik-baik sama aku. Aku tidak mau jadi perusak hubungan orang. Maaf”

Dan saya masih ingat, setelah saya SMS, Robi langsung menelepon. Dia tanya, “Kamu kecewa?”

Apa yang bisa saya katakan selain, “Tidak” –> harga diri saya sangat tinggi, nggak mau dia tahu kalau saya jatuh hati padanya dan berharap.

Entah dia tahu atau tidak tapi sebenarnya saat mengatakan tidak, saya sekuat tenaga menahan tangis yang mudah sekali pecah, sampai berkali-kali harus menarik napas. Tapi saat itu saya mendengarnya berkali-kali minta maaf.

Sejak saat itu, tidak ada lagi masa-masa pulang kuliah bersama. Tidak ada lagi SMS penyemangat. Tidak ada lagi ceritanya tentang kehidupan rumah kontrakannya. Saya menyesal kehilangan seorang teman dekat. Dan itu karena saya sendiri.

Tahun-tahun berikutnya yang saya sadari, dia datang pada saya ketika putus dengan pacar-pacarnya. Tapi setiap kali dia menemukan tambatan hati baru, dia tidak pernah cerita pada saya. Dan rasanya kami tidak pernah berjodoh, karena setiap kali saya tidak punya pacar, dia sedang bersama seseorang. Setiap kali dia putus, giliran saya yang sedang mengamit tangan seseorang.

Namun bagaimanapun, saya selalu bisa menemukan cara menghubungi dia. Bagaimanapun, kemanapun saya pergi, ada saja teman saya yang adalah temannya.

Saya penasaran, apakah dulu dia juga jatuh hati pada saya? Tapi apalah manfaatnya, saya sudah melabuhkan perahu saya pada tonggak kecil di pinggir pantai. Saya hampir pasti sudah menemukan pantai milik pulau yang indah, yang tidak ingin saya tinggalkan. Robi hanyalah pulau di seberang sana yang masih bisa saya lihat, tapi jelas saya tidak ingin membawa perahu saya berlayar padanya.

Kata-kata yang pernah saya ucapkan pada pacar saya adalah janji, semoga saya tidak mengingkarinya. Bahwa, ketika Robi menyematkan cincin dan berikrar sehidup semati dengan seorang wanita, maka akan lebih mudah bagi saya untuk bebas.

image

-Saya rindu pada seseorang di Karang Sambung sana-

Posted from WordPress for Android

3 thoughts on “Mantan Kecengan

Leave a comment